5 Cendekiawan Muslim Dalam Perjuangan Nasional
1. K.H. Samanhudi 1878 – 1956
Samanhudi atau sering disebut Kyai Haji Samanhudi lahir di Laweyan, Surakarta, Jawa Tengah, 1868. Ia adalah salah satu tokoh pendiri Sarekat Dagang Islam, sebuah organisasi massa di Indonesia yang awalnya merupakan wadah bagi para pengusaha batik di Surakarta. Dasar pendirian Sarekat Dagang Islam sendiri adalah perbedaan perlakuan oleh penguasa Hindia Belanda antara pedagang pribumi yang mayoritas beragama Islam dengan pedagang Tionghoa pada tahun 1911. Oleh sebab itu Samanhudi merasa pedagang pribumi harus mempunyai organisasi sendiri untuk membela kepentingan mereka. Pada tahun 1911, ia mendirikan Sarekat Dagang Islam untuk mewujudkan cita-citanya.
Di bawah pimpinan H. Samanhudi, perkumpulan ini berkembang pesat hingga menjadi perkumpulan yang berpengaruh. R.M. Tirtoadisurjo pada tahun 1909 mendirikan Sarekat Dagang Islamiyah di Batavia. Pada tahun 1910, Tirtoadisuryo mendirikan lagi organisasi semacam itu di Buitenzorg (Bogor). Demikian pula, di Surabaya H.O.S. Tjokroaminoto mendirikan organisasi serupa tahun 1912. Tjokroaminoto masuk SI bersama Hasan Ali Surati, seorang keturunan India, yang kelak kemudian memegang keuangan surat kabar SI, Oetusan Hindia. Tjokroaminoto kemudian dipilih menjadi pemimpin, dan mengubah nama SDI menjadi Sarekat Islam (SI). Pada tahun 1912, oleh pimpinannya yang baru Haji Oemar Said Tjokroaminoto, nama SDI diubah menjadi Sarekat Islam (SI). Hal ini dilakukan agar organisasi tidak hanya bergerak dalam bidang ekonomi, tapi juga dalam bidang lain seperti politik. Meski demikian SI tetap bertujuan membantu masyarakat pribumi untuk mengembangkan jiwa dagang. Memberikan bantuan kepada anggota-anggota yang mengalami kesulitan dalam bidang usaha. Selain bantuan dana, SI pun memberikan pendidikan dan pelatihan dagan kepada para pedagang-pedagang agar usaha mereka semakin meningkat. Selain kegiatan ekonomi, SI tetap mengedapankan inti ajaran islam yang mendasari berbagai sisi kehidupan masyarakat muslim.
2. H.O.S. Tjokroaminoto (1883 – 1934)
Haji Oemar Said Cokroaminoto adalah seorang tokoh pergerakan yang sekaligus menjadi guru dari tiga dari banyak tokoh revolusioner Indonesia, Soekarno (nasionalis/PNI), Semaoen (komunis/PKI) dan Kartosoewirjo (agamis/DI), tiga tokoh nasional Indonesia yang memiliki idealisme dan pandangan politik berbeda. Cokroaminoto membakar semangat pemuda-pemudi Indonesia saat itu dengan “Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat.” Berdasarkan pemikirannya orang-orang Indonesia harus memiliki ilmu pengetahuan yang luas, memiliki iman dan keyakinan yang teguh, serta pintar dalam memilih strategi untuk dapat membangun dan membebaskan Indonesia dari belenggu penjajahan dan efek negatif lainnya dari kebodohan.
Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, adalah tokoh nasional yang lahir di Desa Bukur, Madiun, Jawa Timur, 16 Agustus 1882. Tjokroaminoto merupakan anak kedua dari 12 bersaudara dari ayah bernama R.M. Tjokroamiseno, salah seorang pejabat pemerintahan pada saat itu. Kakeknya, R.M. Adipati Tjokronegoro, pernah juga menjabat sebagai bupati Ponorogo. Ia bersama KH Samanhudi merintis sebuah organisasi yang bergerak di bidang ekonomi bernama Sarekat Dagang Islam. Pada tahun 1912, di bawah kepemimpinannya nama SDI diubah menjadi Sarekat Islam (SI). Hal ini dilakukan agar organisasi tidak hanya bergerak dalam bidang ekonomi, tapi juga dalam bidang lain seperti politik.
SI tidak membatasi keanggotaannya hanya untuk masyarakat Jawa dan Madura saja. Tujuan SI adalah membangun persaudaraan, persahabatan dan tolong-menolong di antara muslim dan mengembangkan perekonomian rakyat. Keanggotaan SI terbuka untuk semua lapisan masyarakat muslim. Pada waktu SI mengajukan diri sebagai Badan Hukum, awalnya Gubernur Jendral Idenburg menolak. Badan Hukum hanya diberikan pada SI lokal. Walaupun dalam anggaran dasarnya tidak terlihat adanya unsur politik, tapi dalam kegiatannya SI menaruh perhatian besar terhadap unsur-unsur politik dan menentang ketidakadilan serta penindasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Artinya SI memiliki jumlah anggota yang banyak sehingga menimbulkan kekhawatiran pemerintah Belanda. Seiring dengan perubahan waktu, akhirnya SI pusat diberi pengakuan sebagai Badan Hukum pada bulan Maret tahun 1916. Setelah pemerintah memperbolehkan berdirinya partai politik, SI berubah menjadi partai politik dan mengirimkan wakilnya ke Volksraad tahun 1917.
Dan ketika paham komunis masuk ke dan membuat SI terpecah menjadi dua, SI putih (agamis-nasionalis) yang dipimpin oleh HOS Cokroaminito dan SI Merah (komunis) yang dipimpin oleh Semaun, Cokroaminoto dengan hati-hati tetap menginginkan Sarekat Islam tetap bersatu. Namun demikian Pecahnya SI terjadi setelah Semaoen dan Darsono dikeluarkan dari organisasi. Hal ini ada kaitannya dengan desakan Abdul Muis dan Agus Salim pada kongres SI yang keenam 6-10 Oktober 1921 tentang perlunya disiplin partai yang melarang keanggotaan rangkap. Anggota SI harus memilih antara SI atau organisasi lain, dengan tujuan agar SI bersih dari unsur-unsur komunis. Hal ini dikhawatirkan oleh PKI sehingga Tan Malaka meminta pengecualian bagi PKI. Namun usaha ini tidak berhasil karena disiplin partai diterima dengan mayoritas suara. Saat itu anggota-anggota PSI dari Muhammadiyah dan Persis pun turut pula dikeluarkan, karena disiplin partai tidak memperbolehkannya.
Jasa HOS Cokroaminoto terhadap perjuangan nasional sangatlah besar, hal ini dibuktikan salah satunya oleh putra sang fajar, Soekarno. Murid HOS Cokroaminoto tersebut merupakan yang paling menonjol dan mendapatkan simpati baik dari sesama tokoh perjuangan maupun masyarakat Indonesia pada umumnya.
3. K.H. Ahmad Dahlan (1868 – 1934)
Bagi Anda yang pernah menyaksikan film layar lebar ‘Sang Pencerah’ garapan sutradara Hanung Bramantyo, maka Anda dapat merasakan apa yang dialami oleh K.H. Ahmad Dahlan dalam memperjuangkan pemikirannya. KH. Ahmad Dahlan telah memelopori kebangkitan umat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah, dan salah satu caranya untuk berjuang adalah dengan pendidikan. Organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan Islam. Sebagai wirausahawan, ia telah memelopori amal usaha sosial. Bahkan ia menempatkan perempuan secara terhormat melalui Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah), ia memelopori kebangkitanperempuan Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan lelaki.
Kyai Haji Ahmad Dahlan, lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868 – meninggal di Yogyakarta, 23 Februari 1923 pada umur 54 tahun. Ia adalah putera keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar. KH Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada masa itu.
Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, ia sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaruan Islam di bumi nusantara. Ahmad Dahlan mengginginkan adanya suatu pembaruan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. la ingin mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur’an dan al-Hadits. Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18 November 1912. Dan sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.
Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. la dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kyai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen, mengajar di sekolah Belanda, serta bergaul dengan tokoh-tokoh Budi Utomo yang kebanyakan dari golongan priyayi, dan bermacam-macam tuduhan lain. Saat itu Ahmad Dahlan sempat mengajar agama Islam di sekolah OSVIA Magelang, yang merupakan sekolah khusus Belanda untuk anak-anak priyayi. Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun ia berteguh hati untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaruan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan tersebut. Pada 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta.
Namun pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, disamping juga melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921. Sebagai seorang yang demokratis dalam melaksanakan aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, Dahlan juga memfasilitasi para anggota Muhammadiyah untuk proses evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin dalam Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, telah diselenggarakan dua belas kali pertemuan anggota (sekali dalam setahun), yang saat itu menggunakan istilah AIgemeene Vergadering (persidangan umum).
4. K.H. Agus Salim (1884 – 1954)
Haji Agus Salim lahir di Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat, Hindia Belanda, 8 Oktober 1884 . Ia merupakan seorang pejuang kemerdekaan Indonesia. Pendidikan dasarnya ditempuh di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah khusus anak-anak Eropa, kemudian dilanjutkan ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia. Ia berhasil menjadi lulusan terbaik di HBS se-Hindia Belanda.
Salim terjun ke dunia jurnalistik tahun 1915 di ‘Harian Neratja’ sebagai Redaktur II. Setelah itu diangkat menjadi Ketua Redaksi. Menikah dengan Zaenatun Nahar dan dikaruniai 8 orang anak. Kegiatannya dalam bidang jurnalistik terus berlangsung hingga akhirnya menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Kemudian mendirikan Suratkabar ‘Fadjar Asia’. Dan selanjutnya sebagai Redaktur Harian Moestika di Yogyakarta dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO). Bersamaan dengan itu Agus Salim terjun dalam dunia politik sebagai pemimpin Sarekat Islam.
Karier politiknya dimulai dalam Serikat Islam. Ketika masuk, ia langsung duduk sebagai anggota pengurus. Namanya cepat popular karena pemikiran-pemikiran dan pengetahuannya yang luas mengenai berbagai hal. Tahun 1919 mendirikan Persatuan Pergerakan Kaum Buruh bersama Semaun. Organisasi ini menuntut kepada Pemerintah Belanda supaya Indonesia segera didirikan DPR yang sesungguhnya. Ia juga mengorganisasikan pemogokan buruh di berbagai tempat seperti Semarang, Surabaya dan Cirebon. Dalam konggres Islam di Garut tahun 1924, ia menguraikan fungsi agama dan ilmu pengetahuan serta hubungan antara Islam dan Sosialisme. Ia melontarkan gagasan dibentuknya Pan Islamisme. Ia pula yang menyatakan bahwa posisi laki-laki dan perempuan tidak dibedakan dalam berbagai kegiatan masyarakat.
Tahun 1912-1924, Agus Salim duduk dalam Volksraad. Ia banyak mengecam tindakan-tindakan pemerintah yang banyak menyengsarakan rakyat. Ia juga menuntut agar bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa resmi dalam Volksraad. Tahun 1925 ia menerbitkan harian Fajar Asia di Yogyakarta dan memimpin harian Hindia Baru yang terbit di Jakarta. Dalam konggres ia berpidato dalam bahasa Perancis sehingga membuat orang kagum atas kemahirannya menggunakan bahasa tersebut, sekaligus menaikkan nama Indonesia di luar negeri. Di antara tahun 1946-1950 ia laksana bintang cemerlang dalam pergolakan politik Indonesia, sehingga kerap kali digelari “Orang Tua Besar” (The Grand Old Man). Ia pun pernah menjabat Menteri Luar Negeri RI pada kabinet Presidentil dan di tahun 1950 sampai akhir hayatnya dipercaya sebagai Penasehat Menteri Luar Negeri. Pada tahun 1952, ia menjabat Ketua di Dewan Kehormatan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). Biarpun penanya tajam dan kritikannya pedas namun Haji Agus Salim dikenal masih menghormati batas-batas dan menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik.
Setelah mengundurkan diri dari dunia politik, pada tahun 1953 ia mengarang buku dengan judul Bagaimana Takdir, Tawakal dan Tauchid harus dipahamkan? yang lalu diperbaiki menjadi Keterangan Filsafat Tentang Tauchid, Takdir dan Tawakal.Ia meninggal dunia pada 4 November 1954 di RSU Jakarta dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Namanya kini diabadikan untuk stadion sepak bola di Padang.
5. K.H Zaenal Mustafa (1889 – 1944)
Zaenal Mustofa adalah pemimpin sebuah pesantren di Tasikmalaya sekaligus pejuang Islam pertama dari Jawa Barat yang mengadakan pemberontakan terhadap pemerintahan kolonial Jepang. Terlahir dari keluarga petani berkecukupan, putra pasangan Nawapi dan Ny. Ratmah, di kampung Bageur, Desa Cimerah, Kecamatan Singaparna (kini termasuk wilayah Desa Sukarapih Kecamatan Sukarame) Kabupaten Tasikmalaya (ada yang menyebut ia lahir tahun 1901 dan Ensiklopedia Islam menyebutnya tahun 1907, sementara tahun yang tertera di atas diperoleh dari catatan Nina Herlina Lubis, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat). Nama kecilnya Hudaeni, namun menjadi Zaenal Mustofa setelah ia menunaikan ibadah haji pada tahun 1927.
Sejak tahun 1940, KH. Zaenal Mustofa secara terang-terangan mengadakan kegiatan yang membangkitkan semangat kebangsaan dan sikap perlawanan terhadap pendudukan penjajah. Ia selalu menyerang kebijakan politik kolonial Belanda yang kerap disampaikannya dalam ceramah dan khutbah-khutbahnya. Atas perbuatannya ini, ia selalu mendapat peringatan, dan bahkan, tak jarang diturunkan paksa dari mimbar oleh kiai yang pro Belanda.
Dengan semangat jihad membela kebenaran agama dan memperjuangkan bangsa, KH. Zaenal Mustofa merencanakan akan mengadakan perlawanan terhadap Jepang pada tanggal 25 Pebruari 1944 (1 Maulud 1363 H). Mula-mula ia akan menculik para pembesar Jepang di Tasikmalaya, kemudian melakukan sabotase, memutuskan kawat-kawat telepon sehingga militer Jepang tidak dapat berkomunikasi, dan terakhir, membebaskan tahanan-tahanan politik. Untuk melaksanakan rencana ini, KH. Zaenal Mustofa meminta para santrinya mempersiapkan persenjataan berupa bambu runcing dan golok yang terbuat dari bambu, serta berlatih pencak silat. Kiai juga memberikan latihan spiritual (tarekat) seperti mengurangi makan, tidur, dan membaca wirid-wirid untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Besarnya pengaruh KH Zaenal Mustofa dalam pembentukan mental para santri dan masyarakat serta peranan pesantrennya sebagai lembaga pendidikan dan pembinaan umat membuat pemerintah Jepang merasa tidak bebas jika membiarkan pesantren ini tetap berjalan. Maka, setelah peristiwa pemberontakan tersebut, pesantren ini ditutup oleh Jepang dan tidak diperbolehkan melakukan kegiatan apapun.
KH. Zaenal Mustofa telah dieksekusi pada 25 Oktober 1944 dan dimakamkan di Taman Pahlawan Belanda Ancol, Jakarta. Melalui penelusuran salah seorang santrinya, Kolonel Syarif Hidayat, pada tahun 1973 keberadaan makamnya itu ditemukan di daerah Ancol, Jakarta Utara, bersama makam-makam para santrinya yang berada di antara makam-makam tentara Belanda. Lalu, pada 25 Agustus 1973, semua makam itu dipindahkan ke Sukamanah, Tasikmalaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar